Senin, 01 Desember 2008

Aritel

Mahasiswa sebagai sparring partner dalam kampanye kampus
Oleh : Nailul Umam Wibowo
Pemerintah pada Pemilu 2004 memperbolehkan partai politik (parpol) berkampanye di kampus. Hal ini memancing reaksi dari kalangan civitas akademika. Menurut Malik Fajar, model kampanye kampus tidak sama dengan model kampanye pengerahan massa. Kampanye di kampus akan lebih mengedepankan ciri akademis dengan cara dialogis. Suatu model kampanye yang "akan bermanfaat bagi pendidikan politik para mahasiswa" (Republika 26/2/2003). Parpol di perbolehkan kampanye sesuai mekanisme kampanye yang ditetapkan oleh masing masing kampus.

Hampir setiap kampus, mayoritas kalangan aktifis mahasiswa menolak kehadiran parpol untuk berkampanye. Setidaknya kalangan mahasiswa melihat dan mempunyai beberapa alasan mendasar atas penolakan mereka terhadap kampanye di kampus. Pertama, adanya alasan pinsipil dan perbedaan diametral antara dunia politik dan dunia pendidikan. Kalangan pendidikan membangun bangsa dalam jangka panjang, secara terarah dan berkesinambungan. Untuk itu tiap lembaga pendidikan, dalam hal ini kampus, telah mempunyai blue print arah kebijakan dan tujuan pendidikan. Sementara partai politik lebih mementingkan kepentingan jangka pendek. Kalau toh dalam AD/ART dan janji parpol tersebut mengemukakan hal hal yang bersifat idealita, itu berubah seratus delapan puluh derajat manakala mereka telah mendapatkan "kursi" di carinya, dan inilah fakta yang ada selama ini. Kepentingan jangka pendek inilah yang membedakan parpol dengan kampus/lembaga pendidikan.

Kedua, kekhawatiran politisasi kampus oleh pihak pihak tertentu. Dengan diperbolehkannya kampus dipakai sebagai ajang kampanye parpol, aktifis mahasiswa menduga adanya kepentingan dan konsesi tertentu dan juga kemudahan akses bagi kampus dalam melakukan sesuatu terutama dengan bila bekerjasama dengan parpol pemenang terutama yang di prediksikan pemenang pemilu.

Ketiga, realitas lapangan menunjukkan bahwa kinerja "wakil rakyat" belum memuaskan (untuk tidak mengatakan: mengecewakan!). Tingkah laku elit politik yang tak mencerminkan kondisi rakyat kecil dan tidak adanya sense of crisis. Hal ini semakin menguatkan asumsi bahwa anggota legislative adalah wakil parpol yang tidak mewakili dan memperjuangkan kepentingan rakyat kecil tetapi lebih mementingkan kepentingan golongan dan parpolnya. Di saat rakyat tercekik oleh kebutuhan ekonomi, politisi di beberapa DPRD seperti Boyolali, Sukoharjo dan Sragen meminta dana purnabhakti 25-35 Juta atas perjuangan mereka di legislatif.

Alasan kampanye di kampus merupakan pendidikan politik mungkin ada benarnya. Selama ini pendidikan pilitik tak pernah ada dalam perkuliahan kecuali fakultas sosial politik. Dengan demikian mahasiswa akan melek politik. Dan lagi pula kampanye tersebut parpol 'diharapkan" tidak membawa massa. Kampanye dalam bentuk diskusi dialogis, tiap jurkam memaparkan program parpolnya, calon presidennya dan menyampaikan janji-janjinya.

Dengan demikian, agar terjadi keseimbangan atau balance dalam kampanye kampus, menurut penulis perlu beberapa tawaran alternatif. Pertama, karena yang maju dalam kampanye adalah tiap jurkam dengan segala program parpol dan hal positif lainnya, maka pihak aktifis mahasiswa dan akademisi kampus perlu memposisikan diri sebagai subyek kritis. Jurkam harus siap "dikuliti" porgram parpolnya -yang sering kali berbentuk konsep ideal-- dengan realita yang terjadi di lapangan, dengan kondisi utusannya yang menjadi wakil rakyat. Artinya akademisi dan aktifis kampus adalah subyek dan bukan obyek, bersikap positif dan lebih bijak terhadap parpol tetapi juga tidak meninggalkan sikap kritis yang menjadi tradisi keilmuan kampus. Pemilihan umum adalah wahana penyaluran aspirasi secara demokratis. Pemilih merupakan subyek yang bebas menentukan hak pilihnya sesuai dengan aspirasinya, atau tidak memilih sama sekali dan aktif mengcounter parpol bila memang parpol di anggap membodohi kampus dan rakyat. Kondisi ini memungkinkan titik temu antara parpol, rektorat dan aktifis mahasiswa.

Wal hasil, kampus perlu aktif menjadi "sparring partner" parpol dalam memberi arah dan mengkontruksi sejarah masa depan bangsa. Upaya ini bisa dengan kerja sama melalui simbiosis mutualisme antara kampus dan parpol, dengan tetap kritis tentunya. Bisa juga sparring partner ini dalam bentuk sikap oposisi kampanye. Bila parpol dengan janji janjinya, kampus dengan penilaian kritis. Dan jika perlu aktifis kampus mengkampanyekan golongan putih (golput) sebagai salah satu pilihan masyarakat, dan sebagai sikap ketidak puasan dan kritis yang demokratis atas janji saat kampanye dan kenyataan yang ada pada parpol ketika telah memperoleh kursi. Dengan adanya giolput parpol mengetahui seberapa besar kepercayaan pemilih. Dan memungkinkan pengukuran secara nominal seberapa besar golput pada berbagai macam pemilu yang akan ada.

Penulis adalah guru SLTP Al-Islam Kartasura (Alumni PM Gontor dan Tarbiyah FAI UMS )




Detail: Aritel

Sabtu, 12 Juli 2008

Artikel

Mahasiswa dan Demokrasi

Oleh : Nugroho Budhi Santoso

Perjalanan sejarah demokrasi di Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa pada tahun 1998. Ketika rezim orde baru berkuasa kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, menyam-paikan aspirasi sangat dibatasi apalagi ketika aspirasi-aspirasi yang menyangkut pemerintahan pada saat itu. Tidak sedikit para aktivis yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena suara vokalnya.

Pada tahun 1998 merupakan tonggak sejarah dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Sejak jatuhnya rezim orde baru berganti dengan era reformasi, kebebasan masyarakat untuk mengeluarkan pendapat, berserikat, berkumpul, menyampaikan aspi-rasi, dijamin sepenuhnya oleh pemerintah dalam undang-undang. Perubahan demo-krasi yang begitu dahsyatnya itu tidak lain merupakan hasil perjuangan mahasiswa. Banyak pengamat menilai bahwa per-juangan mahasiswa tersebut adalah murni sebagai gerakan mahasiswa tanpa di-boncengi pihak-pihak tertentu, karena per-juangan mereka didasari pada nilai-nilai intelektual dan moral.

Perjuangan mahasiswa dalam perjalanan demokrasi negara, ternyata diterapkan juga di lingkungan kampus. Di tahun yang sama mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi melakukan pertemuan yang menghasilkan bahwa di setiap kampus perlu dibentuk badan eksekutif sebagai pelaksana terhadap aspirasi mahasiswa yang dikenal dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan suatu badan yang berfungsi sebagai pengontrol lembaga eksekutif yang selanjutnya disebut Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) atau Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM). Sedangkan lembaga yudikatifnya di lingkungan kampus tidak ada, karena terbentur dengan sistem birokrasi rektorat.

Hal yang sama juga terlihat adanya pemilu pada kampus untuk memilih ketua BEM dan mahasiswa yang akan duduk di DPM, sebagaimana pemilu negara untuk memilih presiden dan anggota DPR. Pemilu kampus pun juga menggunakan sistem kepartaian yang berisikan mahasiswa yang memiliki ideologi, visi, misi yang sama. Dari pengamatan, terdapat beberapa poin penting pada sistem partai dalam pemilu kampus, antara lain:

Pertama, partai menjadikan pemilu lebih menarik. Kita sadari bahwa kondisi mahasiswa saat ini sangat apatis. Maha-siswa terlalu disibukkan dengan aktivitas perkuliahan, tugas-tugas kuliah, sehingga lupa akan interaksi sosial dengan kelembagaan-kelembagaan mahasiswa. Hal tersebut tentu saja fungsi kontrol maha-siswa dan regenerasi terhadap kelembagaan mahasiswa tidak berjalan sepenuhnya. Dengan adanya partai diharapkan mening-katkan mahasiswa untuk ikut berperan serta dalam kelembagaan mahasiswa dan mempermudah regenerasi kelembagaan.

Kedua, partai menjadikan persaingan dalam pemilu lebih besar. Dengan banyaknya partai yang mengikuti pemilu kampus, tentunya persaingan pun lebih besar. Di sini akan terlihat cara-cara yang dilakukan partai untuk memenangkan pemilu, apakah “sehat” sesuai dengan prosedur-prosedur yang ditentukan atau tidak. Karena bukan hal mustahil terjadi kecurangan-kecurangan dalam pemilu. Peran mahasiswa sangat diperlukan dalam hal ini untuk fungsi kontrol pemilu.

Ketiga, partai mencerminkan ideologi mahasiswa. Kita tidak dapat pungkiri bahwa terdapat ideologi-ideologi yang berkem-bang di kalangan mahasiswa, dan biasanya dari kesamaan ideologi itulah muncul partai-partai mahasiswa. Dengan demikian terlihat jelas ketika terdapat calon-calon ketua eksekutif maupun legislatif, mahasiswa sebagai pemilih dapat mengetahui latar belakang, asal, dan siapa yang berada di belakang si calon tersebut.

Dengan keterbatasan yang ada mahasiswa telah berhasil menerapkan sistem kene-garaan di lingkungan kampus, meskipun tidak mutlak sepenuhnya. Kita dapat mengatakan bahwa kampus merupakan sebuah replika kecil dari negara. Tetapi yang jadi pertanyaan adalah apakah demokrasi kampus sudah berjalan dengan semestinya? Apakah pemilu kampus sudah berjalan dengan transparan dan jujur? Apakah lembaga dan partai mahasiswa sudah mewakili aspirasi mahasiwa ataukah hanya aspirasi sekelompok golongan? Hal tersebut tentunya harus kita sadari bersama fungsi dan peran kita sebagai mahasiswa sebagai kaum muda yang bertindak dengan mengedepankan nilai-nilai moral dan intelektual. Wallahua’alam bishowab.



Detail: Artikel

Senin, 07 Juli 2008

Menanti Gubenur Pengumbar Janji

Oleh : Turmuzi
Pesta demokrasi, pemilihan kepala daerah (PILKADA) di NTB sekitar beberapa bulan lagi akan segera tiba. Tentunya saat-saat semacam ini merupakan peristiwa dan momen paling bersejarah bagi masyarakat NTB. Dalam menentukan seorang figur yang nantinya diharapkan bisa membawa perubahan bagi masa depan NTB kearah kondisi yang lebih baik. Dan yang paling terpenting lewat PILKADA ini tentunya akan di jadikan sebagai bahan evaluasi sekaligus cermin bagi masyarakat NTB untuk melakukan introspeksi terhadap pemeritahan sebelumnya, dan mulai memompa semangat baru, untuk merancang semacam strategi baru di dalam memilih seorang figur untuk kepemimpinan berikutnya, yang memang sungguh-sungguh memiliki komitmen serta menjunjung tinggi apa yang di amanatkan rakyat, melalui implementasi secara rill dan berkesinambungan sesuai dengan amanat UUD 1945 “dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Memasuki detik-detik menjelang PILKADA ketika saatnya kampanye telah tiba, ketika masyarakat sedang berbahagia. di saat situasi semacam inilah, merupakan peluang yang paling di tunggu oleh para calon kontestan (Cagub dan Cawagub) lewat agen profesionalnya untuk bertindak sebagai penjual obral-obralan janji, bersaing dengan penjual lain mempromosikan prodak pemikiran mereka, sebagai prodak paling berkualitas serta menguntungkan. Strategi yang di tempuh untuk menarik perhatian dan simpatisan dari masyarakat berpariasi, dari kunjungan silaturrahmi yang di bingkai dengan acara pengajian akbar, maupun acara syukuran ke berbagai lembaga dan tokoh besar yang di anggap memiliki reputasi dan kharismatik tinggi, baik di kalangan pemerintah maupun masyarakat.
Dan tidak jarang. Konon ceritanya untuk mempe-rerat tali silaturrahmi ukhuwan islamiah diantara calon kontestan dengan sang tokoh kharismatik di kalangan masyrakat. Tidak sedikit di antara calon kontestan melakukannya dengan meberikan sedikit sumbangan ala kadarnya. Yang dalam bahasa pesantrennya di sebut dengan amal jariah. Jumlahnya pun berpariasi, mulai dari satuan sampai puluhan…Rp…?. Namun perlu di pertanyakan. Ada apakah di balik sumbangan (amal jariah)?. Jadi teringat dengan lagunya Kaq Tuan Rhoma Irama (KKN). “Menyumbang sebenarnya menyumbang, menyumbang demi kemakmuran. Memberi sumbangan mengharap dukungan, itu namanya bukan menyumbang, untuk selanjutnya tinggal kenangan. Dan tidak jarang pula supaya hubungan ukhuwah islamiah diantara calon kontestan dengan sang tokoh kharismatik tetap untuh dalam PILKADA.
Sejumlah posisi surprise mulai di tawarkan bagi sang kharismatik, ataupun anggota keluarga, mulai dari tawaran sebagi ajudan sampai menjadi anggota dewan, sebagai tanda ucapan terima kasih. Terus bagaimana dengan masyarakat yang menjadi pengikutnya pak? mereka dapat apa?, wah kalau mereka itu cukup di do’akan masuk surga, dan di kasih sebuah bola, itu saja mmereka anggap lebih dari cukup. Lantas bagaimana tanggapan sang Tuan Guru?. Wah kalau masalah itu tanya saja sendiri pak!. Tetapi kalau dengar-dengar dari ustaz saya dulu. Katanya sih orang yang banyak melakukan amal kebaikan termasuk memberi sumbangan akan di lipat gandakan pahalanya dan besok akan di masukkan ke dalam surga (pastabikul khairot) firman Allah dalam Al’Qur’an. Tapi kok sumbangannya hanya pada waktu PIKADA saja? Mana kutau?.

Visi Mengumbar Janji
Praktek semacam ini memang bukan persoalan baru lagi, melainkan lagu lama yang sering kali di mainkan partai politik (PARPOL) dalam setiap pentas seni panggung sandiwaranya di tengah masyarakat. Baik itu di tingkat pusat maupun daerah. Karena langkah semacam ini dianggap sebagai sarana peling efektif, meraih dukungan dari masyarakat untuk mendapatkan kemenangan dalam setiap PEMILU maupun PILKADA. Karena kalau tokoh kharismatiknya sudah di pegang sudah pasti sang pengikut akan mengikuti dari belakang, tanpa harus menguras tenaga melakukan kunjungan ke setiap daerah. Sampai di sini dulu perjalanan kunjungan silaturrahmi ke tempat sang tokoh kharismatik. Mari kita tengok aktifitas lain daripada para calon kontestan untuk mendapatkan dukungan dan simpati masyarakat melalui cara yang memang sudah lazim di lakukan dalam setiap PEMILU maupun PILKADA.
Kalau kampanye memper-erat hubungan ukhuwah islamiah dengan masyarakat, untuk mendapatkan dukungan dalam PILKADA mendatang, cukup hanya di lakukan melalui kunjungan silaturrahmi dengan sang tokoh kharismatik. Lain lagi dengan strategi yang memang sudah lazim di lakukan para calon kontestan, dalam setiap PILKADA untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Strategi semacam ini merupakan tonggak paling besar, dan di nantikan masyarakat untuk secara lansunga, bisa bertatap muka dengan sang calon pemimpin idaman, sebagai kebanggaan, tumpuan harapan. sebagai agen prubahan menyongsong masa depan.
Tidak banyak yang mereka harapka kecuali hanya sekelumit harapan “Di bebaskan dari kemiskinan, dan kemelaratan, serta kesempatan menikmati pendidikan. Lain lagi dengan harapan calon kontestan yang memberi sumbangan demi mengharapkan dukungan. Melalui kampanye besar-besaran semacam inilah mereka (cagub dan cawagub) dengan segenap daya, upaya, dan usaha secara terus menerus mengamini supaya mendapatkan simpaati masyarakat. Salah satu diantaranya melalui visi dan misi penuh dan sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan mensejahterakan guna mewujudkan masyarakat adil makmur sesai dengan amanat UUD 1945.
Berbicara tentang visi dan misi, sebenarnya tidak pernah terlepas dari permainan politik yang jauh hari sebelumnya, memang sudah di rencanakam secara matang sebagai alat yang sifatnya hanya sebatas manipulasi, untuk mengelabui dan membuai para pendukungnya (masyarakat) dengan segudang iming-iming dan janji palsu. Akan lebih menarik kalau apa yang mereka wacanakan lebih layak di sebut sebagai dongeng sebelum tidur, karena memang praktek semaca ini merupakan bahasa manipulasi politik belaka, yang sudah sangat memuakkan untuk di dengarkan, penuh dengan kelicikan dan kebohongan, yang sering kali di lontarkan sang calon penguasa untuk meraih kursi kekuasaan yang penuh dengan kemunafikan.
Iironis sekali memang, bahwa betapapun kotor dan liciknya panggung perpolitikan yang di mainkan para penguasa, mau tidak mau kita sebagai bagian dari mahluk sosial kemasyarakatan harus ikut terjun ke dalamnya.Akan tetapi terlepas dari gambaran mengenai betapa kotor dan liciknya panggung perpolitikan dan kekuasaan di NTB saat ini, setidaknya akan bisa menjadi cermin, dan bahan refleksi bagi masyarakat. Bahwa sejatinya untuk bisa mewujudkan NTB mejadi daerah yang selama ini di bangga-banggakan sebagai daerah yang maju dan relegius,tentunya membutuhkan seorang figur yang benara mampu dan komitmen merealisasikan aspirasi masyarakat. Dengan hati nurani, bukan hanya pintar mengumbar janji. Semoga


Pengurus Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) RO’YUNA IAIN Mataram


Detail:
MAHASISWA Vs DEMOKRASI


Oleh : Dewi Oktarini


Mahasiswa sebagai civitas akedemika, identik dengan intelektualitas dan idealisme tinggi. Mampu menampilkan diri sebagai generasi pembaharu. Pioneer reformasi yang peka terhadap berbagai penderitaan yang melilit rakyat. Baik dari segi kesejahteraan maupun keamanan. Mahasiswa terus bergerak memperjuangkan hak – hak rakyat dengan mengelu-elukan demokrasi dan keadilan.
Mahasiswa tak hanya berwacana, tapi mampu membuktikannya melalui aksi-aksi nyata. Masih lekat diingatan bagaimana mahasiswa diseluruh belahan tanah air Indonesia bersatu. Berjuang merobohkan rezim Suharto, mei 1998 silam. Untuk memukul mundur Soeharto, mahasiswa tak segan – segan mengorbankan nyawanya seperti yang terjadi pada tragedi trisakti.
Kesuksesan mahasiwa tersebut membuat semua pihak begitu memperhitungkan keberadaan mahasiwa hingga saat ini. Tidak hanya itu, sampai saat ini mahasiswa masih aktif dalam menyikapi berbagai kebijakan pemerintah. Seperti kenaikan BBM yang sangat mencekik rakyat atau tidak kunjung dipenuhi anggaran pendidikan 20 %. Meski demikian, dari hari kehari gaung mahasiswa semakin memudar. Idealisme yang tinggipun seiring waktu mulai terkikis. Mahasiswa tidak sekeritis dulu.
Bahkan yang sangat kontras baru-baru ini, ketika beberapa buletin kampus mengangkat masalah kebobrokan BEM, MPM, dan DPM. Lembaga yang katanya mewakili mahasiswa terindikasi kecurangan pada pemilihan umum presiden mahasiswa (PRESMA). Bahkan sampai terjadi kesenjangan antara kaum minoritas dan mayoritas di republik mahasiwa. Tentu sangat tidak etis sekali jika mahasiswa yang dipercaya sebagai generasi pembaharu, melakukan tindakan disebut di atas.
Seharusnya menjunjung tinggi keadilan dan demokrasi tidak melakukan kecurangan – kecurangan seperti itu. Mengingat mahasiswa adalah penerus – penerus bangsa yang identik dengan intelektualitas dan idealisme tinggi. Mahasiswa dikenal sebagai generasi perubahan. Generasi yang diharapkan mampu menelurkan ide – ide cemerlang. Bisa membawa bangsa ini bangkit dan terlepas dari berbagai keterpurukan sehingga terbentuklah suatu Negara yang aman, damai dan sejahtera.
Jadi sangat wajar jika pada akhirnya 10 tahun pasca reformasi bangsa tercinta belum menunjukan perubahan yang signifikan. Padahal tak jarang yang duduk dibirokrasi saat ini adalah mahasiwa-mahasiwa yang dulunya aktif turun ke jalan menggaung – gaungkan kebobrokan politik dan birokrasi yang membuat rakyat menderita.
Begitu memalukan tentunya ketika ada orang – orang berteriak lantang menyuarakan keadilan tapi ketika diberi kesempatan untuk menentukan kebijakan dia berlaku tidak adil. Parahnya, yang lebih memalukan lagi mereka berasal dari golongan – golongan intelek idealis yang di percaya masyarakat sebagai generasi pembaharu yang mampu membawa perubahan sehingga Indonesia bisa keluar dari keterpurukan. Sehingga tak heran kalau banyak pihak yang kemudian meragukan mahasiswa dan berwacana aksi mahasiwa tidak untuk rakyat semata tapi ada kepentingan dari pihak – pihak tertentu atau sekedar sarana untuk berpolitik praktis.
Karena itu sudah seharusnya mahasiswa merapatkan lagi barisan untuk mengevaluasi diri dan memurnikan kembali identitas kita sebagai mahasiswa yang menjunjung tinggi tridarma perguruan tinggi yang mengutamakan intelektualitas dan kepentingan – kepentingan rakyat sehingga dengan sendirinya image mahsiwa sekedar cari pamor semata akan lenyap. Dan untuk mewujudkan itu semua tentunya dibutukan komitmen yang kuat dan ikatan ukhuwah yang benar – benar solid.
Penulis adalah Akitivis Pers Mahasiswa
(LPM) RO'YUNA IAIN MATARAM


Detail:

Rabu, 02 Juli 2008

REPLEKSI

Merenungi Nasib NTB di Pusaran Pilkada

Sore itu sepulang dari Lombok Timur saya melihat salah satu calon dan wakil gubernur sedang kampanye di lapangan umum mataram. Kurang lebih dari 1000 orang tumpah di sana menyemangati kedua calon sembari berteriak “hidup-hidup…….”. bersamaan dengan itu, pada malam harinya tak sengaja saya dan kawan-kawan mahasiswa bertemu dengan tim sukses salah satu calon gubernur, kebetulan juga saat itu saya dan kawan-kawan lagi duduk berdiskusi di udayana. Sedikit basa-basi sambil perkenalan, kami pun berdiskusi dengan tim sukses dari salah satu calon gubernur tersebut. Dengan semangat yang menggebu-gebu dia dengan halus mengajak kita untuk memilih salah satu calon yang dimaksud. Dikemukan bahwa salah satu calon yang dimaksud sangatlah cocok untuk memajukan NTB. mulai dari pendidikan, ekonomi, budaya, sampai kesejahteraan rakyat semuanya dikupas seolah-olah calon yang dimaksud sempurna dalam memikirkan rayat NTB. Memang kami sengaja memancing pembicaraannya berharap malam itu si tim sukses meneraktir kami. He..hee..

Mikirnya saya, itu hal yang wajar bagi seorang tim sukses mendukung calon yang menjanjikan kesejahtraan bagi dirinya. Bagai mana tidak, misalnya kalo tim sukses dijanjikan sepada motor ato rumah tentu dimana-mana dia akan berkoar-koar kalau si calon yang dimaksud paling bagus dan cocok untuk dipilih. Bukan begitu...?

Selain itu pula mengingat perjalanan politik yang dilalui oleh semua calon gubernur dan wakil gubernur tentu sudah banyak menguras tenaga dan materi. Itung saja misalnya, mulai pertama sosialisasi percalonan samapai sekarang. beberapa miliar yang dikeluarkan..?. trus besok kalo sudah jadi gubernur bagaimana dong...?.

Detail: REPLEKSI

Minggu, 29 Juni 2008

Resensi

Pergolakan Keras Menemukan Identitas

diresensi Oleh Mahsus Khair

Di tengah gejolak perang suku, seorang wanita terlihat lemas dan lesu melewati masa genting menunggu bayi yang keluar dari dalam rahimnya. Matanya dipejamkan sambil mengenjan sekeras tenaga. Sang suami tercinta duduk disampingnya memberikan semangat, ia terlihat bimbang, dari sorot matanya menggambarkan penantian yang sudah lama-lama ditunggu yakni mengharapkan sorang bayi keluar dari rahim istrinya. Bayi laki-laki,ya bayi laki-laki.

Kondisi dan situasi peperangan suku tentu butuh generasi-generasi yang memiliki otot kekar, bersorot mata tajam, berjiwa pemberani dan cerdas. Inilah alasan yang tepat kenapa kemudian sang komandan suami dari Daria menginginkan bayi laki-laki. Namun pada kenyataannya apa yang diharapkan Komandan berbeda. Sang istri, Daria melahirakan bayi perempuan. Sang komandan tidak dapat berkata apa-apa lagi, matanya tertuju pada kelamin bayi tersebut “perempuan...!” katanya kecewa. Ia merasa dirinya gagal menjadi seorang laki-laki sejati. Apa yang diharapkan dirinya sebagai seorang ayah yang mendambakan bayi laki laki yang kelak dapat menjadi penggantinya pupus sudah.

Samira, begitulah nama anak dari pasangan Komandan dan Daria. Ayah Samira merasa malu dan gagal. Untuk itu ia memutuskan mendidik Samira sebagai lelaki. Dan tumbuhlah Samira sebagai Samir.

Sejak kecil Samira sudah ditekankan untuk memiliki jiwa pemberani oleh ayahnya. Kebanyakan anak seusia Samira tidak menunjukkan adanya sosok pemberani dalam dirinya walaupun mereka bocah laki-laki. Mulai umur lima tahun Samira sudah di ajari memanah, memainkan pedang, dan berburu layaknya kebanyakan anak laki-laki. Ini kemudian membentuk krakter pribadinya berhati keras.

Pembentukan karaketer dirinya kian kompleks ketika ayahnya meninggal dunia dalam peperangan. Ia merasa dirinya sebagi pengganti ayahnya yang senantiasa melindungi ibunya dan sekaligus sebagai pengganti ayahnya sebagai komandan nanti. Pada suatu ketika, Samira pergi, keluar jauh meninggalkan tempat tinggalnya. Ibunya sendirian dalam tenda. Ketika itu datang sosok laki-laki masuk ke dalam tenda dan mencoba memperkosa ibunya. Sukurlah Samira pulang tepat waktu. Ia membunuh laki-laki yang mencoba memperkosa ibunya tersebut dan tersebarlah isu tentang keberanian samira sebagai sosok laki-laki berumur belia.

Layaknya manusia normal, samira tumbuh menjadi dewasa dengan sandangan gelar sebagai sosok laki-laki pemberani. Pergaulannya kian hari semakin luas hingga akhirnya mengenal Bashir sebagai sahabat karib. Pertemanan Samira dengan Bashir dimulai sejak bersekolah, dia begitu akrab sekali, terilhat setiap kali pulang selalu bersamaan menaiki kuda melewati bukit-bukit terjal

Kesalahan identitas menjadikan hidup Samira kian kompleks. Kerumitan semakin bertambah saat Samira menginjak usia dewasa. Dan ketika Samira merasakan gelora asmara. Ia dihadapkan pada dua pilihan memilukan. Ia ingin hidup sebagai isteri Bashir, namun disisi lain pula ia harus mempertahankan identitas kelakiannya yang sudah lama dikenal. Dan ia juga tidak bisa menghindari kemauan ayah Bashir untuk menikahkannya dengan adik Bashir yakni Gol sar. Sementara Gol sar adalah seorang gadis..

Cerita yang luar biasa, tentang pergulatan nasib gadis Afganistan yang mengikuti kata hatinya dan mencari eksistensi di tengah dominasi dunia maskulin. Kisah cinta yang diwarnai kegetiran hidup dan keberanian seorang perempuan yang berjuang menemukan jalan hidupnya sendiri. Novel yang dikarang Siba Shakib dari iran ini betul-betul membawa kita pada kondisi realitas di belahan dunia. Apa yang dirasakan tokoh samira dalam novel ini mungkin banyak pula terjadi pada anak manusia yang lain. Seorang baci misalnya berkelamin laki-laki namun prilakunya seperti perempuan adalah contoh nyata yang kita temukan pada kondisi kehidupan kita.

Selain mengangkat tentang pencarian diri, secara eksplesit juga ide-ide dalam novel ini mengajak kita untuk bisa memahami tentang jender. Bagaimanapun dalam peperangan yang berkecamuk, perempuan tetap besar pengaruhnya. Bukanlah suatu keniscayaan hadirnya perempuan di tengah-tengah kondisi genting tidak memiliki arti. Novel ini secara jujur mengangkat kalau perempuan memiliki peran begitu besar dalam segala sisi kehidupan. Laki-laki dan perempuan sejatinya adalah mahluk Tuhan yang diciptakan memiliki kekurangan dan kelebihan. Laki-laki bisa memimpin begitu juga perempuan memiliki hak yang sama dalam memimpin. Atas dasar ini kemudian terdengar di berbagai belahan dunia perempuan muncul sebagai pemimpin dari suatu kaum maupun negara. Contohnya, ratu balqis pada zamanya memimpin kaumnya dengan damai.[]

Detail: Resensi

Sabtu, 24 Mei 2008

Indonesia ‘Miskin’ Perbedaan

Semenjak tumbangnya Orde Baru, konflik atas nama ras dan agama memiliki catatan panjang untuk diceritakan. Pada tahun 2000 perstiwa Sampit sempat menghebohkan Indonesia, pertumpahan darah begitu mengerikan terjadi antara suku dayak dan madura. Di berbagai media masa diperlihatkan korban-korban pertikaian yang membuat bulu kuduk kita berdiri tegang. Turus dilanjutkan lagi dengan kerusuhan di Poso, yang dilatarbelakangi konflik agama. Konflik agama Kemudian berlanjut dengan persitiwa 171 di NTB yang berakhir dengan pengerusakan dan penjarahan.

Rentetan pristiwa di atas sungguh sangat disayangkan, secara tidak sadar telah menambah catatan buram perjalanan sejarah Indonesia. Halnya di dalam tubuh agama itu sendiri memiliki banyak polemik. Seperti Agama Islam. Mulai dengan kasus Ahmadiyah, Lia Eden, salafi, Ustad Roy, Syiah, dan Islam Al-Qiyadah. Dari kesemua kasus tersebut sebetulnya telah memberikan kita secercik kesimpulan sederhana bahwa Indonesia kurang memahami makna perbedaaan. kalau sedikit saja kita mau membuka kitab suci al-qur’an khususnya bagi umat Islam, kita akan menemukan ayat yang mengajarkan arti penting perbedaan ‘Al-ikhtilafurrahmah’. Tapi kenapa perbedaan itu dijadikan sebagai alasan untuk menindas golongan lain. Mungkin alasan yang pas untuk melakukan penindasan didasari karena aliran-aliran itu dianggap sesat. Benarkah demikian?
Berangkat dari Ahmadiyah. Ahmadiyah sebagai faham keagamaan yang tergolong sedikit di Indonesia kian hari diperlakukan tidak adil di Indonesia. Hal ini didasari dengan isu yang terbangun bahwa Ahmadiyah dikatakan sesat karena mempercayai Adanya nabi baru selain nabi Muhammad. Isu yang demikian ini dibantah oleh orang Ahmadiah sendiri. Orang Ahmadiyah masih meyakini Muhammad adalah nabi terakhir. Lantas apa yang dipersoalkan oleh orang Islam yang tergolong mayoritas?. bukan hanya golongan Ahmadiyah saja yang mendapat perlakukan, tetapi golongan seperti Lia Eden, Islam Al-qiyadah, Islam yang Shalatnya dwi bahasa (ustad Roy) juga mendapatkan perlakuan yang sama dari golongan mayoritas. Belum lagi keterlibatan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai badan yang diberikan wewenang oleh negara, menjastifikasikan kalau Ahmadiyah, Al-qiyadah, dan shalat dwi bahasa dianggap sesat. Ini mengindikasikan seolah-olah MUI adalah wakil Tuhan yang mengetahui siapa yang sesat dan siapa yang benar.
Kalau kita merujuk pada konsep Negara Indonesia yang mengatas namakan pluralis, yang menjunjung tinggi pancasila sebagai dasar negara justru sangat bertolak belakang dari pelaksanaannya. Tidaklah kita pungkiri jikalau Indonesia memiliki beragam macam suku, agama, budaya dan aliran-aliran keagamaan lainnya. Tetapi kenapa diskriminasi kebebasan beragama menjadi momok yang dipandang sebelah mata oleh negara?. Penempatan negara yang multikulturalisme tidak sejalan dengan kenyataan yang ada. Sehingga golongan yang mayoritas mendindas golongan minoritas seperti Ahmadiyah dan aliran lainnya.


Detail:
◄ Newer Post
 

Copyright 2011 Rumah Inspirasi is proudly powered by blogger.com | Design by Tutorial Blogspot Published by Template Blogger