Minggu, 29 Juni 2008

Resensi

Pergolakan Keras Menemukan Identitas

diresensi Oleh Mahsus Khair

Di tengah gejolak perang suku, seorang wanita terlihat lemas dan lesu melewati masa genting menunggu bayi yang keluar dari dalam rahimnya. Matanya dipejamkan sambil mengenjan sekeras tenaga. Sang suami tercinta duduk disampingnya memberikan semangat, ia terlihat bimbang, dari sorot matanya menggambarkan penantian yang sudah lama-lama ditunggu yakni mengharapkan sorang bayi keluar dari rahim istrinya. Bayi laki-laki,ya bayi laki-laki.

Kondisi dan situasi peperangan suku tentu butuh generasi-generasi yang memiliki otot kekar, bersorot mata tajam, berjiwa pemberani dan cerdas. Inilah alasan yang tepat kenapa kemudian sang komandan suami dari Daria menginginkan bayi laki-laki. Namun pada kenyataannya apa yang diharapkan Komandan berbeda. Sang istri, Daria melahirakan bayi perempuan. Sang komandan tidak dapat berkata apa-apa lagi, matanya tertuju pada kelamin bayi tersebut “perempuan...!” katanya kecewa. Ia merasa dirinya gagal menjadi seorang laki-laki sejati. Apa yang diharapkan dirinya sebagai seorang ayah yang mendambakan bayi laki laki yang kelak dapat menjadi penggantinya pupus sudah.

Samira, begitulah nama anak dari pasangan Komandan dan Daria. Ayah Samira merasa malu dan gagal. Untuk itu ia memutuskan mendidik Samira sebagai lelaki. Dan tumbuhlah Samira sebagai Samir.

Sejak kecil Samira sudah ditekankan untuk memiliki jiwa pemberani oleh ayahnya. Kebanyakan anak seusia Samira tidak menunjukkan adanya sosok pemberani dalam dirinya walaupun mereka bocah laki-laki. Mulai umur lima tahun Samira sudah di ajari memanah, memainkan pedang, dan berburu layaknya kebanyakan anak laki-laki. Ini kemudian membentuk krakter pribadinya berhati keras.

Pembentukan karaketer dirinya kian kompleks ketika ayahnya meninggal dunia dalam peperangan. Ia merasa dirinya sebagi pengganti ayahnya yang senantiasa melindungi ibunya dan sekaligus sebagai pengganti ayahnya sebagai komandan nanti. Pada suatu ketika, Samira pergi, keluar jauh meninggalkan tempat tinggalnya. Ibunya sendirian dalam tenda. Ketika itu datang sosok laki-laki masuk ke dalam tenda dan mencoba memperkosa ibunya. Sukurlah Samira pulang tepat waktu. Ia membunuh laki-laki yang mencoba memperkosa ibunya tersebut dan tersebarlah isu tentang keberanian samira sebagai sosok laki-laki berumur belia.

Layaknya manusia normal, samira tumbuh menjadi dewasa dengan sandangan gelar sebagai sosok laki-laki pemberani. Pergaulannya kian hari semakin luas hingga akhirnya mengenal Bashir sebagai sahabat karib. Pertemanan Samira dengan Bashir dimulai sejak bersekolah, dia begitu akrab sekali, terilhat setiap kali pulang selalu bersamaan menaiki kuda melewati bukit-bukit terjal

Kesalahan identitas menjadikan hidup Samira kian kompleks. Kerumitan semakin bertambah saat Samira menginjak usia dewasa. Dan ketika Samira merasakan gelora asmara. Ia dihadapkan pada dua pilihan memilukan. Ia ingin hidup sebagai isteri Bashir, namun disisi lain pula ia harus mempertahankan identitas kelakiannya yang sudah lama dikenal. Dan ia juga tidak bisa menghindari kemauan ayah Bashir untuk menikahkannya dengan adik Bashir yakni Gol sar. Sementara Gol sar adalah seorang gadis..

Cerita yang luar biasa, tentang pergulatan nasib gadis Afganistan yang mengikuti kata hatinya dan mencari eksistensi di tengah dominasi dunia maskulin. Kisah cinta yang diwarnai kegetiran hidup dan keberanian seorang perempuan yang berjuang menemukan jalan hidupnya sendiri. Novel yang dikarang Siba Shakib dari iran ini betul-betul membawa kita pada kondisi realitas di belahan dunia. Apa yang dirasakan tokoh samira dalam novel ini mungkin banyak pula terjadi pada anak manusia yang lain. Seorang baci misalnya berkelamin laki-laki namun prilakunya seperti perempuan adalah contoh nyata yang kita temukan pada kondisi kehidupan kita.

Selain mengangkat tentang pencarian diri, secara eksplesit juga ide-ide dalam novel ini mengajak kita untuk bisa memahami tentang jender. Bagaimanapun dalam peperangan yang berkecamuk, perempuan tetap besar pengaruhnya. Bukanlah suatu keniscayaan hadirnya perempuan di tengah-tengah kondisi genting tidak memiliki arti. Novel ini secara jujur mengangkat kalau perempuan memiliki peran begitu besar dalam segala sisi kehidupan. Laki-laki dan perempuan sejatinya adalah mahluk Tuhan yang diciptakan memiliki kekurangan dan kelebihan. Laki-laki bisa memimpin begitu juga perempuan memiliki hak yang sama dalam memimpin. Atas dasar ini kemudian terdengar di berbagai belahan dunia perempuan muncul sebagai pemimpin dari suatu kaum maupun negara. Contohnya, ratu balqis pada zamanya memimpin kaumnya dengan damai.[]

Detail: Resensi
◄ Newer Post Older Post ►
 

Copyright 2011 Rumah Inspirasi is proudly powered by blogger.com | Design by Tutorial Blogspot Published by Template Blogger