Sabtu, 24 Mei 2008

Indonesia ‘Miskin’ Perbedaan

Semenjak tumbangnya Orde Baru, konflik atas nama ras dan agama memiliki catatan panjang untuk diceritakan. Pada tahun 2000 perstiwa Sampit sempat menghebohkan Indonesia, pertumpahan darah begitu mengerikan terjadi antara suku dayak dan madura. Di berbagai media masa diperlihatkan korban-korban pertikaian yang membuat bulu kuduk kita berdiri tegang. Turus dilanjutkan lagi dengan kerusuhan di Poso, yang dilatarbelakangi konflik agama. Konflik agama Kemudian berlanjut dengan persitiwa 171 di NTB yang berakhir dengan pengerusakan dan penjarahan.

Rentetan pristiwa di atas sungguh sangat disayangkan, secara tidak sadar telah menambah catatan buram perjalanan sejarah Indonesia. Halnya di dalam tubuh agama itu sendiri memiliki banyak polemik. Seperti Agama Islam. Mulai dengan kasus Ahmadiyah, Lia Eden, salafi, Ustad Roy, Syiah, dan Islam Al-Qiyadah. Dari kesemua kasus tersebut sebetulnya telah memberikan kita secercik kesimpulan sederhana bahwa Indonesia kurang memahami makna perbedaaan. kalau sedikit saja kita mau membuka kitab suci al-qur’an khususnya bagi umat Islam, kita akan menemukan ayat yang mengajarkan arti penting perbedaan ‘Al-ikhtilafurrahmah’. Tapi kenapa perbedaan itu dijadikan sebagai alasan untuk menindas golongan lain. Mungkin alasan yang pas untuk melakukan penindasan didasari karena aliran-aliran itu dianggap sesat. Benarkah demikian?
Berangkat dari Ahmadiyah. Ahmadiyah sebagai faham keagamaan yang tergolong sedikit di Indonesia kian hari diperlakukan tidak adil di Indonesia. Hal ini didasari dengan isu yang terbangun bahwa Ahmadiyah dikatakan sesat karena mempercayai Adanya nabi baru selain nabi Muhammad. Isu yang demikian ini dibantah oleh orang Ahmadiah sendiri. Orang Ahmadiyah masih meyakini Muhammad adalah nabi terakhir. Lantas apa yang dipersoalkan oleh orang Islam yang tergolong mayoritas?. bukan hanya golongan Ahmadiyah saja yang mendapat perlakukan, tetapi golongan seperti Lia Eden, Islam Al-qiyadah, Islam yang Shalatnya dwi bahasa (ustad Roy) juga mendapatkan perlakuan yang sama dari golongan mayoritas. Belum lagi keterlibatan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai badan yang diberikan wewenang oleh negara, menjastifikasikan kalau Ahmadiyah, Al-qiyadah, dan shalat dwi bahasa dianggap sesat. Ini mengindikasikan seolah-olah MUI adalah wakil Tuhan yang mengetahui siapa yang sesat dan siapa yang benar.
Kalau kita merujuk pada konsep Negara Indonesia yang mengatas namakan pluralis, yang menjunjung tinggi pancasila sebagai dasar negara justru sangat bertolak belakang dari pelaksanaannya. Tidaklah kita pungkiri jikalau Indonesia memiliki beragam macam suku, agama, budaya dan aliran-aliran keagamaan lainnya. Tetapi kenapa diskriminasi kebebasan beragama menjadi momok yang dipandang sebelah mata oleh negara?. Penempatan negara yang multikulturalisme tidak sejalan dengan kenyataan yang ada. Sehingga golongan yang mayoritas mendindas golongan minoritas seperti Ahmadiyah dan aliran lainnya.


Detail:
◄ Newer Post
 

Copyright 2011 Rumah Inspirasi is proudly powered by blogger.com | Design by Tutorial Blogspot Published by Template Blogger